Senin, 20 Februari 2012

New Muslim Thailand Islam Convert อิสลาม มุสลิม ประเทศไทย เปลี่ยนศาสนา



copy  by eramuslim online streaming



Aktor Filipina: Dari Balik Jeruji Penjara, Mengenal Islam Hingga Mendirikan Madrasah




Senin, 19/12/2011 10:49 WIB | Arsip | Cetak


"Masa lalu adalah adalah masalah lalu. Saya bukan 'anak kecil' lagi. Saya sekarang adalah seorang 'lelaki', julukan 'Manusia Jahat' memang terasa tidak mengenakan, tapi itu bagian dari masa lalu saya," ujar Robinhood Fernando Carino Padilla, aktor asal Filipina yang pernah menjadi idola banyak orang di era tahun '90-an lewat film-film laga yang dibintanginya.






Lebih dikenal dengan nama Robin Padilla, masa lalu lelaki yang lahir dari keluarga pemeluk Kristen Protestan ini, memang kelam meski hidupnya sebagai aktor terkenal bergelimang kemewahan. Namun kemewahan dan popularitas itu yang menjerumuskannya ke dalam dunia malam yang penuh maksiat. Ia terperangkap dalam kehidupan para preman jalanan dan obat-obatan terlarang, sehingga membuat popularitasnya sempat menurun.

Aktor yang sempat dijuluki "The Bad Boy of Philippine Action Movies" karena perannya sebagai anggota gangster berdarah dingin dalam sejumlah film itu, harus berurusan dengan kepolisian Filipina karena sepak terjangnya yang sudah dikatagorikan kriminal. Pada tahun 1994, polisi Filipina menangkapnya dan Padilla dinyatakan bersalah atas dakwaan kepemilikan senjata api ilegal. Pengadilan memvonisnya 21 tahun penjara, tapi pada tahun 1998 ia dibebaskan.

Pengalaman selama mendekam di penjara itulah yang mengubah hidup Padilla. Ia berkenalan dengan Gene Gallopin, seorang muslim dan aktivis hak asasi manusia untuk masyarakat minoritas Muslim di Filipina. Robin mulai mengenal Islam dari diskusi-diskusi panjang tentang agama dengan Gallopin yang juga seorang mualaf, hingga Robin memutuskan untuk masuk Islam dan menggunakan nama islami Abdul Aziz.

Keislaman aktor Filipina kelahiran Manila, 23 November 1967 ini tidak banyak diungkap oleh media massa, sehingga banyak para penggemar Padilla yang terkejut begitu tahu aktor pujaan mereka ternyata sudah menjadi seorang muslim.








Tak lama setelah Padilla bersyahadat, istrinya bernama Liezl, juga masuk Islam. Pasangan mualaf yang dikaruniai lima anak itu pun, mulai menjalani kehidupan sebagai keluarga muslim. Padilla masih melanjutkan karirnya sebagai seorang aktor, tapi setelah menjadi seorang muslim, ia juga banyak melakukan kegiatan sosial keagamaan.

Aktivitasnya di bidang keagamaan itu, membuat Padilla berkali-kali diterpa pemberitaan miring. Ia bahkan dituding punya hubungan dengan kelompok Abu Sayyaf, kelompok muslim di Filipina yang diidentikan sebagai kelompok radikal dan teroris. Tapi bagi Padilla, pemberitaan miring itu merupakan tantangan tersendiri baginya dalam menjalani kehidupan sebagai muslim di negara yang mayoritas pendudukanya beragama Katolik.

Padilla juga membentuk sebuah lembaga advokasi untuk membantu masyarakat Muslim Filipina. Ia pernah ditunjuk sebagai duta Gerakan Pemberantasan Malaria oleh Departemen Kesehatan Filipina karena kiprah organisasi Padilla dalam menanggulangi wabah malaria di negeri itu.

Padilla juga berhasil mengumpulkan dana sebesar satu juta peso Fililpina dalam kegiataan penggalangan dana untuk membangun pemakaman Muslim di kota Norzagaray, provinsi Bulacan.

Mendirikan Madrasah


Di bidang pendidikan, Padilla mewakafkan lahan miliknya di Fairview Park, Quezon City untuk membangun lembaga pendidikan berupa madrasah bagi anak-anak muslim usia prasekolah.

“Para murid akan mendapatkan pelajaran membaca Al-Quran dari guru-guru yang terpilih. Mereka akan tinggal di asrama di lokasi yang sama, dibebaskan dari uang sekolah, buku-buku diberikan gratis, termasuk biaya asrama,” kata Padilla.

Idenya mendirikan madrasah muncul setelah ia mengunjungi kepulauan Basilan dan Jolo di selatan Filipina, yang merupakan bagian dari wilayah Mindanao, wilayah di Filipina yang mayoritas penduduknya Muslim.

"Dari kunjungan saya ke Mindanao, saya menemukan akar dari persoalan yang paling mendesak di sana. Minimnya pendidikan membuat anak-anak Muslim di sana terbelakang," ujar Padilla.

Di awal pendiriannya, cuma ada lima orang guru di sekolah itu, yang sudah menjalani pelatihan di sekolah Islam internasional di Turki. Padilla mengatakan, ia sebenarnya ingin mempekerjakan guru-guru lulusan universitas lokal, tapi biayanya ternyata lebih mahal.

"Ketika pengelola yayasan Fountain International School di Turki mendengar rencana kami mendirikan sekolah muslim di Manila, mereka menyatakan bersedia membantu memberikan pelatihan bagi tenaga guru secara gratis," ungkap Padilla.

Ditanya soal konflik berkepanjangan di Mindanao antara komunitas Muslim dan pemerintah Filipina, Padilla mengatakan, "Saya melihat solusi jangka pendek untuk menyelesaikan konflik di Mindanao, adalah penarikan pasukan militer Filipina dari wilayah itu. Sepanjang pasukan militer masih ada, tidak akan ada perdamaian di Mindanao," tukasnya

Republik Sengkarut dan Bom Informasi Penyudutan Islam


Kepedihan kembali menimpa bangsa ini. Rentetan peristiwa yang terjadi di Indonesia membuat hati kita semakin masgyul: Kesenjangan sosial yang melebar, mandulnya penegakan hukum, tingginya angka kriminalitas, sampai siaran televisi yang acap menyudutkan Islam.

Ini diiringi dengan musibah jatuhnya puluhan korban dalam rentetan kecelakaan. Pelaku korupsi yang masih bebas menggerogoti uang rakyat dan tidak adanya langkah kongkrit dari pemimpin negara. Hampir-hampir rakyat putus asa menjalani beban hidup di rezim saat ini. Sengkarut Republik ini juga dihantam badai korupsi yang menggila.

Mari simak: Dalam rentang delapan tahun, hutang negeri ini meningkat tajam. Tahun 2004 hutang Indonesia tercatat Rp 1.299,5 triliun. Tahun 2011 naik menjadi Rp 1.803,5 triliun, tahun 2012 diprediksi tembus di level RP 1.900 triliun! Logikanya, jika hutang kian besar seharusnya rakyat menjadi makmur. Tapi, apa yang terjadi?

Data yang dilansir Indonesia Corruption Watch, 05 Februari 2012, menyebut sepanjang tahun 2011 terjadi 436 kasus korupsi dengan jumlah tersangka 1.053 orang. Kebanyakan pelaku korupsi memiliki latar belakang PNS. Ironis!

Ironisnya lagi, besarnya hutang justru diimbangi naiknya angka kemiskinan di Tanah Air. Pemerintah memang mengklaim kemiskinan turun satu juta jiwa per Maret 2011. Faktanya, saat ini begitu mudah kita menemui si miskin. Bahkan, dalam tiga tahun terakhir Asian Development Bank (ADB) mencatat orang miskin di Indonesia bertambah 2,7 juta orang. Data ini dirilis 2011.

Menurut data itu, tahun 2008 angka kemiskinan di Indonesia mencapai 40,4 juta jiwa. Tahun 2010 melonjak 43,1 juta jiwa. Artinya, orang miskin di negeri ini jauh lebih banyak dibanding data yang diklaim pemerintah. Apalagi jika dihitung jumlah si miskin yang tidak terdata secara resmi.

Tak heran bila tahun 2010 Indonesia menjadi negara terkorup di Asia. Menurut ICW, semester I tahun 2010 korupsi meningkat 50 % dibanding periode yang sama tahun sebelumnya. Masih menurut data itu, korupsi kakap yang nilainya triliunan rupiah mandeg di kepolisian.

Di tengah hutang negara menumpuk, tingginya kemiskinan, penanganan korupsi yang buram; negeri ini juga dilanda krisis keadilan. Penegakan hukum kental nuansa tebang pilih. Apalagi Mahkamah Agung belum lama ini memvonis bersalah Nenek Rasminah.

Wanita renta itu dituding mencuri enam piring milik majikannya. Rasminah divonis empat bulan 10 hari. Padahal, sebelumnya Pengadilan Negeri Tangerang memvonis bebas. Simak juga kasus Nenek Minah. Tahun 2009 ia divonis satu bulan 15 hari lantaran mencuri tiga buah kakao yang hanya senilai Rp2.100.

Lalu, pencurian sandal yang dituduhkan pada seorang pelajar. Ia divonis bersalah meski dikembalikan ke orangtuanya. Kasus-kasus ini menggegerkan publik, termasuk ketidakadilan lain yang menimpa masyarakat kelas bawah.

Jauh berbeda dengan kasus Century, Lapindo, Rekening Gendut Polisi, dan kasus kakap lainnya; yang sampai saat ini belum ditindaklanjuti secara serius. Penegakan hukum juga kental membela para “teroris koruptor” yang divonis ringan, lalu mendapat remisi dan bebas. Ada pula yang langsung divonis tidak bersalah atau justru belum tersentuh hukum.

Begitu pula dengan kasus yang mendera pejabat partai penguasa. Angelina Sondakh, Wakil Sekjen Partai Demokrat yang sudah ditetapkan sebagai tersangka dalam perkara wisma atlet, tapi tak sampai dua pekan dari penetapannya itu, ia malah ingin dirotasi di Komisi III (Hukum) yang bersentuhan langsung dengan KPK. Lalu, ada rencana dipindah lagi ke Komisi VIII (Agama). Sungguh, hal ini telah melecehkan akal sehat dan hati rakyat.

Di antara sekngkarut kondisi bangsa, pemerintah justru menghambur uang rakyat. Sebut saja, biaya renovasi istana yang menelan Rp 22,5 miliar. Bahkan dana pembangunan, pengembangan, renovasi serta bangunan dan barang milik negara di lingkungan Sekretariat Presiden dan Kemensetneg pada tahun anggaran 2012 mencapai 72, 852 miliar. Pemerintah juga membeli pesawat kepresidenan jenis Boeing Business Jet seharga Rp526 miliar.

Ironinya, DPR yang seharusnya mengawasi pemerintah seolah tak mau kalah. DPR ikut melakukan pemborosan yang sulit dinalar logika. Misalnya, renovasi toilet sebesar Rp 2 miliar, pembelian mesin fotocopy seharga Rp 4 miliar, pembelian Toyota Camry seharga Rp 470 juta, pembangunan lapangan futsal di rumah Jabatan DPR Kalibata Rp 2 miliar, pembangunan ruang Banggar DPR sebesar Rp 20 miliar; meski furniture impor diganti dengan lokal.

Ditambah masih mengeluhkan urusan snack yang disediakan dalam rapat sidang DPR; padahal bukankah urusan negeri masih setumpuk? Mereka juga membiarkan anggotanya yang terganjal hukum tetap aktif bekerja.

Di lain pihak, anggaran DKI Rp 36 triliun setahun, tidak banyak merubah kondisi curat marut kemacetan dan perbaikan Ibu Kota. Uang-uang rakyat yang diperas dari hasil keringat masyarakat, hasilnya tak banyak dinikmati rakyat. Miris.

Berselancar Di Atas Kejahatan Informasi

Masih banyak lagi rentetan fakta menyayat hati. Semua kepedihan ini masih dihujam dengan siaran televisi yang tidak mendidik. Tetap menyiarkan sinetron, menggunjing melalui tayangan gosip, mengajak hidup konsumtif, dibuai untuk mencapai kesuksesan dengan instan melalui reality show, dan lainnya.

Apalagi, siaran-siaran dewasa yang dominan di TV turut disaksikan anak usia sekolah. Ini meracuni. Masyarakat Indonesia seolah diajak berselancar di atas kejahatan informasi. Dipaksa menelan informasi demi informasi yang jauh dari nilai edukasi. Patut kah negara berpenduduk mayoritas Islam melegalkan siaran itu? Kapitalisme mengoyak hati umat.

Dalam sebuah wawancara dengan Sutradara senior Chaerul Umam, ia mengungkapkan; “Film dan sinetron lebih memprioritaskan keuntungan finansial dibanding bertanggung jawab terhadap moral bangsa.” Apakah ini tak jahat? Apakah umat tidak disakiti?

Perasaan umat kian disakiti dengan informasi media massa yang kembali menyudutkan Islam dalam konteks tragedi FPI: Bagaimana mungkin anggota FPI yang didzalimi di Kalteng, diancam dibunuh, pesawat yang ditumpangi diancam dibakar, tapi justru FPI diminta bubar?

Bagaimana mungkin, media massa yang menjunjung tinggi nilai proposionalitas dalam pemberitaan tapi sangat tendensius dalam pengkonstruksian berita ihwal FPI? Bagaimana mungkin, kelompok yang menjual-jual nama Dayak dengan menerobos apron bandara sambil mengacung-acungi senjata tajam tidak diproses secara hukum?

Padahal, bisa jadi, ini satu-satunya fenomena di dunia dimana bandara bisa diterobos massa. Bukankah ini bisa membuat citra buruk Indonesia? Bukankah aksi itu bisa mengancam dicabutnya sertifikasi penerbangan? Kenapa media massa tidak menyorotnya?

Apalagi kelompok penyerang itu juga membakar tenda Maulid, merusak rumah tokoh Islam di Kalteng. Apa ini yang disebut kearifan lokal? Apakah aksi itu bukan tindak kekerasan? Dimana keadilan?

Ketika Logika Sudah Terjungkal

SBY dalam peringatan Maulid mengajak bangsa ini untuk meneladani sikap Rasulullah. Seorang pemimpin mengajak kebaikan pada rakyatnya tapi tindakannya jauh dari apa yang dianjurkan. Alih-alih mengikuti sikap Rasul, mensejahterakan rakyat dan membela Islam yang mayoritas; ia sendiri masih kerepotan mengurus partainya.

Jika memimpin partai tak sanggup, bagaimana memimpin ratusan juta rakyat. Jika mengajak meneladani Rasul, mengapa kaum Liberal yang jelas menodai Islam masih dipelihara, kenapa pula korupsi tetap menggurita. Di lain pihak, FPI yang mencoba menyelamatkan generasi bangsa dari perusak moral diminta instrospeksi diri.

Katakanlah FPI memang merusak kaca dan bangunan, tapi JIL merusak akidah dan moral melalui kebebasan yang diusungnya. Sedangkan koruptor merusak peradaban. Lebih bahaya mana? Lantas, kenapa pula siaran yang membodohi masyarakat melalui sinetron dkk tidak diberhentikan? Entah bagaimana logika berpikir penguasa.

Pada saat besamaan, media tetap menyoroti kekurangan FPI dan tak pernah mempublish kegiatan positif FPI. Ketimpangan informasi berita FPI juga tidak dibarengi porsi pemberitaan kekerasan yang dilakukan kelompok di luar FPI; gerakan sparatis, perusuh di Ambon, misalnya.

Toh, yang dilakukan FPI dipicu karena tidak adanya langkah nyata dari pemerintah untuk memberangus kemaksiatan. Berbeda dengan motif dan tujuan sparatis atau perusuh Ambon. Parahnya, kini umat Muslim diberi label baru: Pihak yang mendukung FPI = pecinta kekerasan. Betapa tersayatnya hati umat. Padahal sikap tegas beda dengan kekerasan.

Sulit menggambarkan kesedihan tentang sengkarut Republik ini, juga tentang apa yang menimpa umat Muslimnya dari waktu ke waktu, termasuk kesedihan karena seringnya ketidak sesuaian penguasa antara ucapan dan sikapnya. Masih ingat retorika pemberantasan korupsi?

Empat Langkah Penyelamatan Umat

Sebagai penutup, umat perlu melakukan tindakan nyata. Mungkin, umat Muslim bisa melakukan empat langkah antisipasi untuk membendung bom informasi penyudutan Islam dan menyelamatkan moral generasi. Langkah ini kiranya mendesak untuk direalisasikan.

Pertama, merangkul seluruh elemen Muslim di Indonesia untuk bersatu sambil terus mengkampanyekan stop menonton televisi, minimal menguranginya.

Kedua, umat Muslim yang memiliki power –finansial, pengaruh, massa- memotori membuka donasi untuk kebutuhan mendirikan siaran televisi Islam berskala nasional sembari menyatukan media Islam yang ada.

Langkah kedua ini bisa dimulai dengan Gerakan Infaq Massal Media. Mengumpulkan uang umat dari: Infaq di masjid setiap Jumat, melalui infaq kelompok para pendakwah, para jamaah majlis Habib dan ulama, lembaga Islam, dan sebagainya. Tahan dulu membangun masjid megah yang sudah teramat banyak. Hal mendasar, harus dipilih pengelola pembuatan TV Islam (bukan TV kabel) yang amanah dan dieksekusi dengan perencanaan matang serta sistematis.

Ketiga, guru-guru di sekolah Islam terus memberi pengetahuan pada siswanya untuk menghindari televisi dan selalu mendoktrin pentingnya memilah informasi di media.

Keempat, para aktivis dakwah lebih menggencarkan aksinya melalui dakwah bil qalam: Secara sederhana, membuat tulisan-tulisan Islami yang difoto copy atau mencetak Buletin Dakwah. Lalu disebar ke masjid, rumah-rumah, kampus, sekolah; tempat strategis lain.
Ini dilakukan di banyak titik dengan membuat lembar Islami komunitas. Secara lebih rumit tapi terlihat lebih rancak; perbanyak Media Islam Komunitas dan berusaha mengelolanya seprofesional mungkin serta amanah. Mungkin kah langkah ini dilakukan? Mungkin saja.

Saya membayangkan, setiap pengusaha Muslim bersedia membuat satu media Islam. Tak perlu muluk mendirikan media besar, awali saja membuat Media Komunitas Islami. Jika ada 100 pengusaha mau mendirikan media dakwah komunitas, maka ada 100 media serupa. Indah sekali. Barangkali, kelak bisa mengalahkan media mainstream. Lalu, membom balik informasi sampah!

Ayo kita coba lakukan aksi nyata untuk kemaslahatan umat; meski dengan peran yang hanya secuil. Mari berdoa: Ya Rahman, percepatlah campur tangan Mu. Mudahkanlah yang sulit bagi kami. Hilangkan dengki di antara kami. Kokohkanlah persaudaraan ini. Curahkanlah semangat dan kekuatan kami. Tetapkanlah hati kami untuk berusaha membela dan meninggikan Islam. Cukup Engkau penolong kami dan hanya Engkaulah sebaik-baik penolong kami. Amin.








Copy eramuslim online
dari Rudi Agung/ Rap aL Ghifari. Direktur Pemberitaan Tabloid Suara Duren Sawit, penulis sejumlah buku antologi, pebisnis